ShippingCargo.co.id, Jakarta — Pengenaan tarif baru oleh Amerika Serikat terhadap berbagai produk Afrika telah menimbulkan kekhawatiran di banyak negara berkembang. Namun, di tengah gejolak kebijakan dagang global tersebut, terbuka peluang strategis bagi Indonesia untuk memperkuat kemitraan ekonomi dan pelayaran dengan negara-negara Afrika.

Pemerintahan AS di bawah Presiden Donald Trump baru-baru ini menarik sebagian negara Afrika, termasuk Lesotho dan Eswatini, dari program perdagangan bebas African Growth and Opportunity Act (AGOA). Kebijakan tersebut dikhawatirkan akan melemahkan industri tekstil dan manufaktur Afrika, memaksa negara-negara tersebut untuk mencari pasar alternatif dan mitra dagang non-tradisional.

Indonesia sebagai negara maritim dengan infrastruktur pelabuhan yang terus berkembang — termasuk Pelabuhan Patimban, Batu Ampar, Medan, dan Tanjung Priok — memiliki peluang untuk memperluas jaringan pelayaran dan logistik ke Afrika. Hubungan Indonesia-Afrika yang selama ini ditopang oleh forum Indonesia–Africa Infrastructure Dialogue (IAID) pada 2019 silam dan berbagai MoU di bidang pelayaran, kini berpotensi menjadi solusi konkret bagi negara-negara Afrika yang terkena dampak tarif AS.

Menurut analisis CSIS dan LSE, negara-negara Afrika kini aktif menjajaki kemitraan Selatan-Selatan (South-South Cooperation) dan mencari jalur distribusi baru untuk ekspor mereka, termasuk ke Asia Tenggara. Di sinilah posisi Indonesia menjadi sangat relevan karena tidak hanya sebagai pasar alternatif, Indonesia juga sebagai pusat distribusi regional berkat keunggulan geografis dan investasi pada National Logistics Ecosystem (NLE).

Sektor pelayaran nasional dapat mengambil peran dalam membangun rute langsung atau hub-and-spoke baru antara pelabuhan utama Indonesia dan pelabuhan Afrika Timur seperti Mombasa (Kenya), Dar es Salaam (Tanzania), dan Maputo (Mozambik). Pengembangan rute ini akan memperkuat konektivitas maritim serta mendorong efisiensi biaya logistik bagi eksportir kedua wilayah.