Home > Shipping

Diskusi Nor-Shipping: Perang Dagang AS-Tiongkok "Tidak Sepenting Itu"

Indonesia bisa menjadi mitra alternatif yang lebih netral dan kompetitif.
Menurut peserta Nor-Shipping, Bisnis AS lebih penting dari perang tarif AS-Tiongkok. (ilustrasi). Sumber:Freepik
Menurut peserta Nor-Shipping, Bisnis AS lebih penting dari perang tarif AS-Tiongkok. (ilustrasi). Sumber:Freepik

ShippingCargo.co.id, Jakarta— Dalam ajang Nor-Shipping 2025 yang berlangsung di Oslo, Norwegia pada 2 hingga 6 Juni 2025 kemarin , topik panas seperti perang dagang AS-China kembali jadi perbincangan utama. Namun, alih-alih panik, mayoritas pelaku industri pelayaran justru memilih bersikap tenang.

Memang, ajang yang dihadiri pelaku industri maritim dari Eropa dan Skandinavia tersebut mengadakan diskusi mengenai perang tarif AS-Tiongkok yang makinn signifikan Mereka menilai kebijakan perdagangan Amerika Serikat yang berubah-ubah di bawah pemerintahan Trump lebih sebagai “gangguan yang bisa dikelola”. dihadiri pelaku industri maritim dari Eropa dan Skandinavia tak ubahnya seperti pandemi COVID-19 atau krisis Laut Merah.

Carl-Johan Hagman dari NYK Europe menyatakan, “Sejarah pelayaran selama ratusan tahun adalah tentang beradaptasi dengan perubahan. Ya, kami khawatir, tapi pelayaran tidak akan berhenti.”

Sikap ini, seperti dilansir oleh Maritime Executive, mewakili pandangan umum bahwa politik boleh panas, tapi bisnis tetap jalan.

Satu-satunya kritik keras datang dari Hong Kong. Hing Chao, pemilik Wah Kwong Maritime, menyebut kebijakan tarif pelabuhan AS sebagai “diskriminatif dan tidak adil”. Ia menegaskan bahwa pelayaran China seolah dijadikan kambing hitam, sesuatu yang menurutnya bertentangan dengan semangat perdagangan bebas.

Di sisi lain, pelaku industri Eropa memilih menyampaikan keprihatinan secara diam-diam. Banyak yang skeptis terhadap ambisi AS membangun kembali industri galangan kapal domestik. Tantangannya jelas: biaya tinggi, kekurangan tenaga kerja terampil, dan kompetisi dari negara seperti Korea Selatan, Jepang, hingga India yang mulai naik daun sebagai pusat galangan kapal baru.

Seorang eksekutif pelayaran energi asal Eropa menyampaikan pendapat jujur, “AS mungkin bisa bangun industri kapal lagi kalau mau keluarkan banyak uang. Tapi rasanya pemerintah mereka akan berhitung ketat soal subsidi.” Ia menilai India lebih siap, karena memiliki tenaga kerja melimpah dan biaya produksi yang lebih rendah.

Lantas, apa maknanya untuk Indonesia? Bagi Indonesia, yang sedang mendorong pertumbuhan sektor maritim dan pelayaran, ketidakpastian global ini bisa jadi peluang.

Ketika negara-negara besar saling menekan dengan tarif dan sanksi, Indonesia bisa menjadi mitra alternatif yang lebih netral dan kompetitif—baik dalam logistik internasional, galangan kapal, maupun jalur pelayaran strategis di kawasan ASEAN. Terlebih, sebagai bangsa maritim, kita perlu belajar dari ketangguhan pelaku global: cepat beradaptasi, tidak reaktif, dan tetap fokus pada efisiensi serta peluang regional.

Karena seperti yang dibilang Hagman, "pelayaran tidak akan berhenti." Maka, tugas kita adalah tetap siap berlayar di tengah badai kebijakan.

× Image